Sering sekali menjadi perdebatan wanita itu lebih baik berkarir, atau dirumah saja? Apalagi yang sudah menjadi istri dan ibu dilihat dari sisi Islam ataupun umumnya, pertanyaan ini tidak akan pernah mendapatkan satu kesepakatan.
Sekedar cerita, ini riwayat hidup saya yang tumbuh dengan ibu yang bekerja sebagai wanita kantoran yang pergi pagi pulang malam.
Sedari memasuki umur 17/18 tahun, ibu sudah coba-coba bekerja. Saat itu ibu siswa SMEA jurusan sekretaris. Ibu dibekali ilmu mengetik 10 jari dengan mesin tik, mesin mengetik yang paling mutakhir pada jamannya. Ibu satu-satu anak perempuan dikeluarganya, dan bekerja dengan alasan bantu finansial keluarganya.
Hingga akhirnya ibu tumbuh menjadi wanita karir yang punya sejarah panjang dari company a hingga z. Sampai saat menikahpun, ibu tetap bekerja. Mulai dari punya anak pertama, hingga keempat, yaitu saya. Sempat Bapak minta ibu untuk berhenti bekerja agar bisa fokus dirumah, berhenti lah ibu dari tempat kerjanya. Tapi memang pada dasarnya ibu saya pekerja, ibu saya akhirnya tidak bisa diam dirumah, atas izin Bapak akhirnya Ibu melamar lagi bekerja.
Saat kecil saya diasuh oleh nenek dirumah. Masak dan kerapihan rumah sudah di urus oleh nenek. Masa kecil saya dipenuhi dengan pengawasan serta izin nenek yang saya panggil Mamah. Bagaimana bonding time ibu dan anak? Setiap pagi yang bangunin saya untuk sekolah adalah ibu, tiap buka mata yang dilihat ada raut muka Ibu. Sewaktu belum TK, saya selalu ikut bapak untuk anter ibu ke pool bus dari Tangerang ke Jakarta. Setiap hari selalu ada drama gamau ditinggal ibu bekerja, saya nangis sejadi-jadinya lalu saya pulang dan diurus dengan nenek.
Hari sabtu adalah hari paling membagiakan karena ibu tidak masuk kerja, pulang sekolah saya bisa lihat ibu dan sambutannya yang sedari Senin hingga Jumat tidak ada. Lebih membahagiakannya, terkadang Ibu datang ke Sekolah sekadar untuk jemput dan kami makan siang, lengkap dengan scene kami berjalan bergandengan tangan dengan satu lagi tangan Ibu membawa tas sekolah saya. Lalu pulangnya kami naik angkutan umum. Setiap ada pengambilan rapor, Ibu akan cuti atau izin setengah hari dari kantor untuk hadir ambil rapor anak-anaknya. Ada perasaan bangga tiap Ibu datang ke Sekolah dulu, pakaiannya paling necis, pakai blazer dan celana bahan, wangi parfum dan cara duduk tegak, selalu bawa catatan dan pulpen untuk jaga-jaga jika ada hal penting untuk ditulis.
Hingga saya kelas 1 SMP, Mamah, Ibu dari Ibu saya meninggal. Saya tidak diawasi lagi oleh beliau. Tidak ada lagi yang akan mengawasi saya untuk pulang sekolah on time tanpa main kerumah teman. Atau saat sore hari saya bisa bebas main kerumah tetangga lain. Tapi ternyata tidak, ibu saya memberlakukan syarat kalau pergi kemana-mana harus izin dulu ke Ibu, lalu ke Bapak. Restu bapak keluar, barulah ibu mengizinkan.
Hari-hari ketika pulang sekolah saya isi dengan sendiri, terkadang hingga sore baru pulang, ketika dirumah sudah ada kakak saya yang ketiga ada dirumah. Malam harinya ketika ibu pulang, barulah Ibu kerjakan apa yang biasa diurus oleh Mamah. Makan malam selalu jadi pertanyaan untuk tukang mana yang dapat rejeki dari keluarga kami malam itu. Terkadang jengah juga kalau setiap hari harus beli lauk. Atau kenapa harus sayur dan lauk-lauk itu-itu saja yang saya makan hanya karena itu yang mudah dimasak.
Saya sering melirik teman-teman yang punya Ibu dirumah dan melihat kondisi mereka lebih beruntung daripada saya. Ibunya selalu ada untuk masak makanan, bahkan mereka lebih bebas daripada saya yang Ibunya bekerja. Tapi saya juga tau, Ibu tetaplah harus bekerja untuk keluarga dan masa depan keluarganya.
Hari-hari berlalu hingga jadi tahun, Ibu tetaplah double agent, Ibu rumah tangga dan wanita karir. Kondisi yang tidak mudah untuk semua orang, apalagi Ibu saya yang skala pekerjaannya menjadi jauh lebih banyak. Belum lagi rasa kehilangan Ibu dengan orang terdekatnya, Mamahnya. Pasti lah Ibu ingin teriak setiap kali pulang kerumah dengan keadaan rumah masih sangat berantakan dan beliau harus menjadi ibu rumah tangga setiap malam. Saya yakin setiap Ibu kirim doa untuk orang tuanya, pastilah juga Ibu mengadu dengan hari-hari yang cukup berat ke Allah, dan ke Mamahnya, ibarat email akan seperti ini
To : Allah
Cc: Mamah.
Saya sengaja sebut Ibu rumah tangga dulu. Meskipun Ibu dari pagi hingga petang bekerja, Ibu tetap menjalankan misinya jadi Ibu yang memantau anak-anaknya, hingga cucu-cucunya saat ini. Setiap Ibu pulang, selalu ada cerita dikantornya bagaimana harinya dengan bossnya, rekan kerjanya, atau sekedar tadi makan siang dimana. Saya sangat familiar dengan orang-orang terdekat Ibu dikantor, karena saya pun sedari kecil kemudian sekolah, kuliah bahkan kerja, sering ikut Ibu kekantor.
Ibu tau banyak tentang Jakarta dan tempat jajan hits di sekitaran kantornya, paling sering saat saya mulai kerja, Hari Jumat adalah hari favorit untuk ketemu sama Ibu di Ambass sekedar untuk makan siang di warung padang langganan Ibu.
Bagaimana dengan sikap Ibu ke saya? Ada satu cerita, ketika saya dan Ibu berangkat pagi kuliah dan kekantor dengan commuter line. Tiap ada yang lewat untuk menawari Ibu jajanan, pastilah Ibu akan menanyakan saya dulu “dek, mau?” alhasil tiap keluar commuter line, minimal saya selalu punya bekal susu kedelai dan somay untuk sarapan. Tidak lupa pelukan dan ciuman hangat Ibu setiap saya pamit saat stasiun yang saya tuju sudah dekat. Scene pelukan dan ciuman hangat itu mungkin udah jadi tontonan sehari-hari orang-orang digerbong perempuan, awalnya agak segan takut dinilai orang berlebihan. Tapi saya pikir-pikir Ibu saya berhak dapat salam perpisahan dengan manis dan dihujani kasih sayang dari anaknya. Kita ga ada yang tau umur. Bisa aja salah satu dari kami ada yang harus “pamit” duluan, maka pamitlah dengan manis.
Ya, saya semanja dan se terikat itu dengan Ibu. Ibu saya yang double agent, a full time mom and a carrier woman. Saya tumbuh tidak kurang kasih sayang sedikitpun dari Ibu dan Bapak. level Kasih sayang : full tank!
Hingga saya harus hijrah ke Surabaya pun, saya masih se terikat itu dengan Ibu. Telfon dan chatting, tidak pernah absen. Diumur saya yang hampir 25 tahun, saya tidak masalah untuk bilang “maklum, anak Ibu”. Jauh dari rumah dan dari keluarga adalah faktor terberat dari hijrah ini. Oleh Ibu saya dibiasakan untuk tidak ngekost saat kuliah ataupun bekerja, dan ketika pulang kerumah semalam apapun, setidak ada 1 pekerjaan rumah yang harus saya kerjakan. Ibu bilang, sewaktu saya dan kakak perempuan saya jadi Ibu nanti dan harus bekerja, tentunya tidak mungkin kami hanya kerja lalu pulang dan tidur, atau pindah ngekost didekat kantor supaya lebih mudah, realitanya ketika dirumah perempuan harus jadi Ibu rumah tangga dan banyak perkerjaan yang harus diurus, maka macet dijalan atau waktu tempuh yang lama bukanlah alasan untuk “mangkir” dari tanggung jawab utama.
Kira-kira begitu ringkasan hidup saya yang dibesarkan oleh Ibu yang bekerja tapi full time mom. Saya dibesarkan dengan Ibu yang luar biasa juga penuh kasih sayang, dan tanpa pengabaian. Meskipun begitu, Ibu saya pernah pesan untuk cari kerja yang bisa untuk berkarir dirumah, sehingga nanti bisa mengurus anak tapi juga tetap berkarir. Jadi saya yakin, jauh didalam lubuk hati Ibu pun, berat pastinya untuk pergi bekerja sementara pikirannya selalu berputar di keluarga, tapi kalau bukan izin dari Allah pun, Ibu saya tidak akan bekerja sepanjang hidupnya hingga September ini akan pensiun di usia 58, ya kan?
Bahkan, di sela-sela pekerjaannya, Ibu banyak mendapatkan hidayah-hidayah dan ikut terlibat kegiatan agama di kantornya. Benar-benar rezeki setiap orang, materi atau cara berpahala sudah diatur oleh Allah.
Tidak ada pandangan buruk yang saya lihat dari ibu yang full time dan full day dirumah untuk urus keluarga sehingga tidak perlu memberatkan orang tuanya untuk urus anak dan rumahnya. Tapi sayapun angkat topi untuk Ibu saya dan Ibu-Ibu lainnya yang bekerja demi masa depan keluarganya. Hari-hari saya yang tidak bisa setiap pulang sekolah lihat Ibu mejadi begitu berharga tiap lihat Ibu ada dirumah saat saya pulang sekolah. Sekedar makan siang diluar adalah hal keren ibu dan anak yang berkarir seperti di serial tv. Atau pegangan tangan kami dikereta menjadi sangat erat karena tau kami akan berpisah sementara sebelum bertemu lagi dirumah.
Sesederhana itu.
love,
Anak Ibu.